26 Juli 2012

Harga Kedele Melonjak, Pengusaha Tempe Medan Terpuruk

Sejak akhir Mei 2012 harga kacang kedela mengalami kenaikan signifikan dari Rp 5.100-Rp 5.2000 per kg kini melambung ke posisi Rp8.000 lebih per kg yang mengancam pengusaha tempe menjadi terpuruk.

“Kalau terus-terusan begini, usaha kami bisa gulung tikar,” kata Dicky, pengusaha tempe di Jalan Jamin Ginting Gang Bendungan Medan kepada Berita di Medan Rabu (25/7). Sebab kacang kedele merupakan bahan baku utama membuat tempe sehingga kalau harganya terus mengalami kenaikan, sisi lain harga jual tempe tidak mengalami kenaikan, maka usahanya akan mengalami stagnan, bahkan bisa-biosa terpuruk. Kenaikan kacang kedele yang mencapai Rp3.000 itu merupakan tertinggi dalam sejarah.

Dicky sendiri mengaku membeli kacang kedele sebanyak 1 ton untuk keperluan selama lebih kurang 20 hari karena dia gunakan sedikitnya 60 kg tiap hari. Dia membeli dari pedagang grosir di Pasar Merah Medan.

Selain harga kedele yang melonjak hebat, Dicky mengaku persaingan antar sesama pedagang tempe juga sangat ketat. Pedagang lain bisa menjual tempe semalam dengan harga murah sehingga pelanggan setianya mudah beralih ke sana. Padahal dari sisi kualitas, tempe tersebut kurang baik dan mereka menyebut tempe semalam itu sebagai ‘tempe rusak’ yang tidak patut lagi dijual.

Namun pedagang kecil seperti tukang goreng dan lontong biasanya tidak melihat kualitas karena mereka melihat harganya murah dan yang penting tetap aman dikonsumsi. “Sesama pedagang tempe saling berebutan pelanggan. Jadi untuk libur jualan saja susah, karena takut pelanggan setia dicaplok pedagang lain,” katanya, sembari menyebut dia memasarkan tempenya di Pasar Sukaramai dan kedai-kedai kecil lainnya.

Oleh karena itu, sampai sekarang di Medan, belum ada asosiasi pedagang tempe yang kalau ada masalah seperti kenaikan kedele ini, bisa diaspirasikan ke pemerintah. “Kami saja saling bersaing ketat, mana mungkin bentuk asosiasi,” terangnya.

Memang beda dengan di Jakarta, terutama daerah Jawa yang asosiasi pengusaha tempenya kuat. Kalau mereka mengancam mogok produksi maka makanan tempe maupun tahu tidak ada lagi di pasar. Menurut Dicky, untuk tempe dan tahu memang pasarnya di Jawa lebih besar daripada di Sumut. Makanan itu sepertinya sudah menjadi santapan lauk yang harus ada dikonsumsi, sedangkan di Medan tempe dan tahu kurang menjadi makanan tradisional. “Orang Sumut tidak makan tempe dan tahu, juga tidak apa-apa karena
memang makanan ini ciri khas makanan dari Jawa,” katanya.

Dicky sendiri tidak memasarkannya ke daerah Padangbulan sekitarnya karena di daerah itu masyarakatnya secara umum kurang suka tempe dan tahu.Untuk mensiasati kemahalan harga kacang kedele ini, Dicky mengaku mengurangi sedikit saja berat tempe dalam satu bungkus. Sepintas, tidak begitu nampak karena ukurannya tetap, cuma isi saja yang kurang sedikit. Pelanggan tidak
mau beli kalau harga tempe dinaikkan.

Selaku produsen tempe, Dicky menjual ke pedagang eceran Rp800 per batang (dijual ke pasar Rp1.000). Harga Rp5.000 untuk 3 batang tempe (dijual ke konsumen Rp2.000), sedangkan harga Rp2.000 (dijual ke konsumen Rp2.500).

Saat Ramadhan ini, Dicky mengatakan daya beli tempe menurun karena banyak kantin-kantin sekolah ataupun pedagang makanan lainnya yang tutup. “Namun kami tetap memproduksi dengan ukuran tetap supaya pelanggan tidak diambil pedagang lain,” jelas Dicky.

Produksi Turun

Kepala Sub Bidang Program Dinas Pertanian Sumut, Ir Lusiantini,MM kepada Berita Rabu (25/7) mengatakan produksi kacang kedele memang mengalami penurunan. Tahun lalu produksinya 11.425 ton, tahun ini diramalkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut menjadi 6.695 ton atau menurun 41,42 persen.

Menurut Lusi, penurunan ini sebenarnya terkait dengan produktivitas kedele terlalu kecil hanya 1-1,2 ton per hektar. Dengan kecilnya itu maka kalau harga jual Rp5.000 per kg membuat pendapatan petani juga kecil.

Apalagi petani kita sebanyak 38 persen memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, otomatis dengan produksi 1 ton berarti 550 kg per hektar maka dapat uang hanya Rp2-2,5 juta per hektar sehingga keuntungan tidak wajar. Oleh karena itu, petani juga kurang mau membudidayakan kedele ini.

Di Jawa, kedele dengan varitas wilis produktivitasnya 2 ton per hektar, tapi kalau di sumut varitas itu cocok. Selama ini petani Sumut umumnya memakai varitas cipat putih dan juga wilis yang kurang sesuai dengan iklim atau habitatnya sehingga produktivitasnya tidak seperti di Jawa atau kurang maksimal.

Adanya kedele impor, menurut Lusi, justru makin menekan harga kedele lokal. memang penampilan kedele impor lebih bagus sehingga pedagang lebih suka beli kedele impor. Di luar negeri bisa menjual dengan harga murah karena produksitivitasnya tinggi mencapai 6-8 ton per hektar. “Jadi kita belum ada varitas yang bisa menyainginya,” jelas Lusi.

Dulu pernah ada varitas legen dari Austalia tapi ketika ditanam disini produktivitasnya malah jauh lebih rendah dari varitas kita. Di sini tak cocok varitas itu. Menurut Lusi, kuncinya kalau ada varitas 3 ton saja per hektar kemungkinan petani bergairah menanam kedele karena mereka dapat untung lumayan.

Solusi lainnya, pemerintah tahun 2012 ini memberikan benih kedele kepada petani di Sumutuntuk alokasi 7.640 hektar, itupun realisasinya masih 1.300 hektar. Rendahnya realisasi itu karena jadwal tanam sudah lewat, biasanya tanam padi-padi baru kedele dengan masa panen sekira 88 hari. (BeritaSore.COM)